TRANS BERITA - “ Kodrat kebangsaan Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kodrat Indonesia adalah mengelola keberagaman, mengelola kemajemukan, mengelola kebhinekaan. … Indonesia mempunyai 1.340 suku, beragam ras, dan bermacam agama. … Indonesia tetap harmonis dan damai.” Ujar Presiden Jokowi
Pernyataan “perang” terhadap tindakan intoleransi atas nama/alasan apapun, merupakan ketegasan dari Presiden Jokowi mengingat maraknya “gerakan-gerakan” yang memanfaatkan Pilkada DKI yang merupakan barometer kancah perpolitikan nasional untuk menggeser, mengganti, dan melakukan “pemberontakan” terhadap jati diri rakyat Indonesia yakni keberagaman.
Pernyataan “perang” terhadap tindakan intoleransi atas nama/alasan apapun, merupakan ketegasan dari Presiden Jokowi mengingat maraknya “gerakan-gerakan” yang memanfaatkan Pilkada DKI yang merupakan barometer kancah perpolitikan nasional untuk menggeser, mengganti, dan melakukan “pemberontakan” terhadap jati diri rakyat Indonesia yakni keberagaman.
Ulah para politisi yang dengan keji memainkan isu intoleransi sebagai usaha untuk memperoleh suara dengan membenturkan perbedaan-perbedaan dan memanfaatkan fanatisme golongan ataupun agama tertentu .
Pasangan calon Anies-Sandi yang didukung oleh partai politik dan golongan “radikal” yang sectarian sehingga dapat dengan instan meraih keberpihakkan massa pemilih bukan atas program dan “kepintaran” yang mereka miliki namun lebih kepada “fanatisme” golongan dan agama. Terus menerus melakukan propaganda radikalisme dengan isu kafir, Islam non Islam hingga menghina (ulama dan kitab suci).
Rakyat DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan berusia produktif (muda) dan beragama Islam jelas menolak perihal intoleransi dan gerakan radikalisme tersebut, namun usaha membuat “rusuh” justru datang dari penduduk luar DKI yang dimobilisasi oleh para tokoh agama yang bersembunyi dengan “kesakralannya” yang membanjiri dengan aksi-aksi dengan pelaku aksi dari luar DKI.
Pemerintah beserta jajarannya menunjukkan ketegasan dimana Presiden mengutarakan disuatu kesempatan,”Kepada seluruh rakyat Indonesia, saya juga ingin berpesan, jangan mudah tergoda oleh isu-isu SARA yang dapat memperlemah bangsa dan negara kita. Dan jangan takut melawan tindakan-tindakan intoleransi dan kekerasan atas nama apapun,” ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/4/2017).
Ungkapan Presiden Jokowi ini merupakan himbauan dan perintah tegas, himbauan kepada masyarakat untuk “memerangi” intoleransi dan radikalisme (partai Islam pendukung salah satu paslon dan ormas “perusuh” FP*), agar terus menjaga dan merawat kodrat kebangsaan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. Dan sekaligus ungkapan presiden ini adalah perintah untuk jajaran yang terkait dengan
garda terdepan mengenai tugas-tugas menjaga kodrat kebangsaan Indonesia yakni POLRI dan TNI serta jajaran terkait agar “memerangi” gerakan-gerakan radikalisme yang membawa-bawa isu pergeseran ideology “Pancasila”.
Diskresi yang dikeluarkan POLRI dengan mengeluarkan maklumat melarang wisata Al-Maidah yang membawa-bawa isu agama (dari nama dan tindakan) untuk kepentingan politik Pilkada DKI berisi penugasan yang pastinya lengkap dengan payung hukumnya. Untuk dengan tegas tidak mengirimkan massa dengan jumlah besar untuk mengikuti aksi unjuk rasa di DKI Jakarta, karena akan menimbulkan konflik dan gangguan keamanan serta ketertiban umum. Bagi warga yang tidak mengindahkan sebagaimana yang dimaksud pada poin pertama (1) dan tetap datang ke Jakarta, maka dapat dikenakan sanksi Pasal 169 ayat (2) KUHP, yaitu dipidana sembilan bulan.
Menghasut atau memprovokasi dengan lisan dan tulisan supaya melakukan sesuatu yang melanggar hukum dapat dikenakan Pasal 160 KUHPidana dengan sanksi hukuman penjara maksimal enam bulan.
Pasangan calon Anies-Sandi yang didukung oleh partai politik dan golongan “radikal” yang sectarian sehingga dapat dengan instan meraih keberpihakkan massa pemilih bukan atas program dan “kepintaran” yang mereka miliki namun lebih kepada “fanatisme” golongan dan agama. Terus menerus melakukan propaganda radikalisme dengan isu kafir, Islam non Islam hingga menghina (ulama dan kitab suci).
Rakyat DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan berusia produktif (muda) dan beragama Islam jelas menolak perihal intoleransi dan gerakan radikalisme tersebut, namun usaha membuat “rusuh” justru datang dari penduduk luar DKI yang dimobilisasi oleh para tokoh agama yang bersembunyi dengan “kesakralannya” yang membanjiri dengan aksi-aksi dengan pelaku aksi dari luar DKI.
Pemerintah beserta jajarannya menunjukkan ketegasan dimana Presiden mengutarakan disuatu kesempatan,”Kepada seluruh rakyat Indonesia, saya juga ingin berpesan, jangan mudah tergoda oleh isu-isu SARA yang dapat memperlemah bangsa dan negara kita. Dan jangan takut melawan tindakan-tindakan intoleransi dan kekerasan atas nama apapun,” ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/4/2017).
Ungkapan Presiden Jokowi ini merupakan himbauan dan perintah tegas, himbauan kepada masyarakat untuk “memerangi” intoleransi dan radikalisme (partai Islam pendukung salah satu paslon dan ormas “perusuh” FP*), agar terus menjaga dan merawat kodrat kebangsaan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. Dan sekaligus ungkapan presiden ini adalah perintah untuk jajaran yang terkait dengan
garda terdepan mengenai tugas-tugas menjaga kodrat kebangsaan Indonesia yakni POLRI dan TNI serta jajaran terkait agar “memerangi” gerakan-gerakan radikalisme yang membawa-bawa isu pergeseran ideology “Pancasila”.
Diskresi yang dikeluarkan POLRI dengan mengeluarkan maklumat melarang wisata Al-Maidah yang membawa-bawa isu agama (dari nama dan tindakan) untuk kepentingan politik Pilkada DKI berisi penugasan yang pastinya lengkap dengan payung hukumnya. Untuk dengan tegas tidak mengirimkan massa dengan jumlah besar untuk mengikuti aksi unjuk rasa di DKI Jakarta, karena akan menimbulkan konflik dan gangguan keamanan serta ketertiban umum. Bagi warga yang tidak mengindahkan sebagaimana yang dimaksud pada poin pertama (1) dan tetap datang ke Jakarta, maka dapat dikenakan sanksi Pasal 169 ayat (2) KUHP, yaitu dipidana sembilan bulan.
Menghasut atau memprovokasi dengan lisan dan tulisan supaya melakukan sesuatu yang melanggar hukum dapat dikenakan Pasal 160 KUHPidana dengan sanksi hukuman penjara maksimal enam bulan.
Bagi warga Jabar yang menyebarkan atau meneruskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik dan menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu, atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA dengan media elektronik atau media sosial dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 Miliar. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Para pihak yang mendukung dan memberikan fasilitas, sarana prasarana kepada pengunjuk rasa yang kemudian melakukan perbuatan pidana dapat dikenakan sanksi turut serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi jalan (tol, arteri, dan khusus) sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Pasal 12 ayat (1). Dengan ancaman pidana penjara paling lama 18 bulan.
Kekhalifaan, system pemerintahan syariah bahkan penyeragaman dengan dalih “mempersatukan” namun aktif memainkan isu Agama akan berhadapan dengan pemerintahan Indonesia beserta rakyatnya, wisata Almaidah jika hendak datang dan membuat “kerusuhan” di Pilkada jelas-jelas melawan hukum (jika melakukan pelanggaran, pidana hukumnya). Pasangan Calon nomor urut tiga Anies-Sandi, yang kerap kali “Nyinyir” jika berhadapan dengan pernyataan yang “mengusik” para pendukungnya sebagai bentuk keberpihakkannya, kini berhadapan dengan persepsi dari ungkapan tegas mengajak “perang” terhadap Intoleransi mengarah kepada ulah “pendukung” atau manuver politiknya. (tempo-group)
Para pihak yang mendukung dan memberikan fasilitas, sarana prasarana kepada pengunjuk rasa yang kemudian melakukan perbuatan pidana dapat dikenakan sanksi turut serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi jalan (tol, arteri, dan khusus) sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Pasal 12 ayat (1). Dengan ancaman pidana penjara paling lama 18 bulan.
Kekhalifaan, system pemerintahan syariah bahkan penyeragaman dengan dalih “mempersatukan” namun aktif memainkan isu Agama akan berhadapan dengan pemerintahan Indonesia beserta rakyatnya, wisata Almaidah jika hendak datang dan membuat “kerusuhan” di Pilkada jelas-jelas melawan hukum (jika melakukan pelanggaran, pidana hukumnya). Pasangan Calon nomor urut tiga Anies-Sandi, yang kerap kali “Nyinyir” jika berhadapan dengan pernyataan yang “mengusik” para pendukungnya sebagai bentuk keberpihakkannya, kini berhadapan dengan persepsi dari ungkapan tegas mengajak “perang” terhadap Intoleransi mengarah kepada ulah “pendukung” atau manuver politiknya. (tempo-group)
0 Response to "Berita Pagi Ini Menggelegar !! Jokowi Marah Besar Minta TNI Dan POLRI Nyatakan Perang Terhadap Intoleransi " Terhadap partai politik dan golongan “ radikal ” Yang Terus Menerus melakukan propaganda radikalisme dengan isu kafir " Silakan Tembak Di Tempat Ormas Pendukung Anies Sandi Yang Akan Memecah Belah NKRI !!"
Posting Komentar